PUNCAK SPIRITUALITAS Oleh : Nur Ahmad
Bulan Rajab merupakan salah satu bulan yang dimuliakan Allah swt, dimana ada peristiwa agung dari sebuah kisah manusia yang mampu keluar dari dimensi jarak, ruang dan waktu untuk berdialog dengan Sang Pencipta. Peristiwa tersebut adalah peristiwa Isra’ Mi’raj yakni perjalanan singkat Nabi Muhammad saw di waktu malam menembus jarak, ruang dan waktu dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsha (Palestina) dengan mengendarai Buraq lalu terus naik sampai langit sap tujuh ke Sidratil Muntaha dan kejadian itu terjadi hanya kurang dari satu malam, 27 Rajab tahun ke Sebelas dari kenabian.
Menurut Kajian Sain Modern mencoba untuk memahami dengan menggunakan berbagai teori dan peristiwa ini menarik perhatian manusia. Manusia modern mungkin dapat menembus dimensi jarak, ruang dan waktu dengan teknologi canggih seperti penjelajahan ke Antaraiksa. Namun dalam hal ini, masih sebatas menjelaskan argumen rasional tentang adanya dimensi tersebut, karena memang Sains Modern dikembangkan berdasarkan pengamatan empiris belaka. Sementara fenomena besar ini memerlukan keimanan yang kuat tentang Kemahabesaran Allah Sang Pencipta Alam dan memberi pelajaran bahwa kemampuan akal manusia untuk mengukur ketidakterbatasanNya tidak bisa ditanggapi hanya dari dimensi logika.
Terlepas dari perdebatan jasad atau ruh Nabi Muhammad saw yang melakukan perjalan malam dan keterbatasan metodologi Sains dan Teknologi Modern tersebut, kita semua sepakat bahwa pesan yang paling esensisial dari sejarah peristiwa Isra’ Mi’raj ini adalah tuntunan Shalat serta keimanan bagi kita semua dan setiap tahun fenomena Isra’ Mi’raj ini diperingati, Nabi saw seolah memberi pelajaran kepada kita untuk terus menerus berupaya memadukan fisik dan jiwa dalam mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Karena, fisik dan jiwa merupakan dimensi yang berbeda, namun antara satu dengan yang lain saling terkait kuat. Oleh karena itu puncak Spirtualitas manusia melalui tauhid, berarti menyatukan dua kutub, yakni kutub fisis dan kutub psikis. Fisis dapat diterjemahkan dengan akal atau pengetahuan yang berdasarkan pada pengamatan manusia, sedangkan Psikis lebih kepada pembenaran yang datangnya dari sumber yang terpercaya, yakni al-Qur’an.
Sementara proses bagi akal untuk menangkap hal-hal yang sukar dinalar membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin sampai tiba ajal seseorang. Namun, keimanan dapat mendahului akal, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar Shiddiq ra dalam mengimani fenomena Isra’ Mi’raj ini sesaat setelah nabi saw melakukannya. Sampai disini, peringatan Isra’ Mi’raj menantang iman sekaligus nalar kita untuk mengimplementasikan hikmah yang sangat banyak dari fenomena alam, manusia sekaligus KemahabesaranNya ke dalam aktifitas dan rutinitas sehari-hari sehingga kita tunduk kepada aturan (sunnatullah) dan berupaya menggapai ridho-Nya dengan kadar kesadaran yang tinggi.
Momen ini penting untuk direnungkan betapa menjadi manusia yang bebas seperti Nabi saw sangat sulit dan butuh proses. Jeratan-jeratan hidup yang terpusat pada materi terkadang sering menumpulkan akal manusia untuk menalar eksistensinya sendiri. Isra’ Mi’raj adalah saat-saat tepat bagi kita untuk mengintrospeksi diri, memahami keangkuhan dan keegoisan kita terhadap materi dan sekaligus menangkap hikmah, baik yang nyata maupun yang abstrak, agar kita menjadi manusia yang diridhoi oleh Allah swt.
Dari uraian di atas, Isra’ Mi’raj dapat dipahami sebagai momen dialog manusia dengan Sang Kholiq yang mampu keluar dari dimensi empiris melalui shalat pada saat dan kondisi tertentu-subhanalladzi asra bi‘abdihi lailan min al-masjid al-haram ila al-masjid al-aqsha- bersama keimanan yang kuat untuk dapat mencapai puncak Spiritualitasnya (Sidratil Muntaha). Akhirnya, semoga kita semua berhasil me-mi’raj-kan diri kita dari dunia, dan menjadi manusia yang bebas sehingga kita mampu mendirikan shalat yang didasarkan atas kesadaran spiritual dan merefleksi intelektual kita pada peristiwa Isra’ Mi’raj.